Gak Nyangka Tagar #MalamPertamaRaisa Timbulkan Masalah Serius Ini
Pernikahan dua seleb populer Raisa Andriana dan Hamish Daud Wyllie menjadi sorotan publik, akhir pekan lalu.
Namun di tengah berbagai ucapan selamat dan ratapan patah hati di media sosial, ada sebuah tagar yang dikritik oleh sejumlah aktivis karena tak hanya terkesan seksis tapi juga meletakkan pandangan keliru tentang perempuan.
Tagar #MalamPertamaRaisa digunakan lebih dari 8.900 kali di Twitter memicu diskusi mendasar tentang 'ketidakadilan terhadap perempuan'.
Sejumlah pengguna bermaksud melucu dengan tagar ini, namun berbagai guyonan seksis tersebut justru dianggap berbahaya oleh sejumlah kalangan.
Berikut berbagai kritikannya:
1. Perempuan adalah barang?
Entah warganet sengaja atau tidak, dalam tagar bernada seksis tersebut berkali-kali Raisa dibendakan dengan kata-kata seperti 'unboxing' dan gurauan 'perlu direview' oleh Hamish — pembawa acara tayangan jalan-jalan yang beberapa kali menjadiendorser produk di medsos.
Akun @dendafs adalah satu dari sedikit yang lekas sadar isi perbincangannya menyiratkan stereotip bahwa perempuan adalah barang. ''Unboxing? Lo kata Raisa barang elektronik apa? Ngejokes mbok ya jangan seksis gitu mas.''
Feminis asal Solo, Dewi Candraningrum, mengatakan viralnya tagar #MalamPertamaRaisa amat merepresentasikan realitas.
''Bahwa masyarakat kita masih misoginis, seksis, dan patriarkis, yang menganggap perempuan sebagai properti sebuah keluarga, masyarakat atau kebudayaan,'' kata dia.
Bahasa seksis tersebut tidak menempatkan perempuan setara, sambung Dewi.
''Melainkan menganggap perempuan sebagai barang yang bisa diperlakukan sesuka hati.''
Saat bahasa semacam ini dianggap jamak dan disirkulasi sebagai bahan guyonan di medsos, Dewi mengatakan hal berikut yang muncul adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik terhadap perempuan, pengambilalihan otoritas atas perempuan, dan marak tindakan yang tidak menghargai perempuan.
''Maka perkosaan juga menjadi bahan candaan, padahal misalnya itu membunuh Yuyun.''
Hak TWITTER
Nyamankah Raisa dan Hamish dalam sorotan?
Seperti apa pernikahan Raisa dan Hamish? Yang betul-betul merasakan atmosfernya cuma kerabat dan tamu yang hadir. Sama seperti warganet, puluhan wartawan hanya menyaksikan lewat tayangan Facebook Live yang diperbesar dengan layar proyeksi.
Pernikahan itu sendiri digelar tertutup.
Tidak seperti selebritas Raffi dan Nagita yang mempertontonkan pernikahan mereka di televisi nasional, pasangan Raisa dan Hamish memilih mengambil jarak dengan publik. Pernikahan adat Sunda dengan dekorasi rustic kekinian ala Instagram tersebut cuma ditampilkan sebagai Facebook Live.
Ayunda Wardhani dari Bridestory, konsultan pernikahan mereka, mengatakan hanya sedikit yang ingin dibagikan Raisa dan Hamish untuk konsumsi publik. Bertemu wartawan, Hamish sempat tertawa lebar mengomentari pertanyaan tentang tagar #HariPatahHatiNasionalJilid2 yang jadi topik perbincangan di medsos. ''Itu lucu!'' ujarnya.
Tapi, selama konferensi pers berlangsung Hamish berulang kali terdiam mendengar pertanyaan media. Dia sempat menolak permintaan untuk bicara menghadap kamera. ''Susah loh. Orang mau ngomong dipanggil-panggil, itu susah,'' kata Raisa menjelaskan situasi. ''Memang tidak mudah ya, berada di relationship yang dilihatin banyak orang,'' kata Raisa.
CLARA RONDONUWU
2. 'Invasi ruang privat'
Kaitannya dengan ranah personal, buat aktivis perempuan Tunggal Pawestri perbincangan tentang malam pertama pasangan Raisa dan Hamish di Twitter tergolong 'invasi ruang privat.''
''Di satu sisi masyarakat merasa tabu (secara terbuka membicarakan seks) dan melarang hal-hal terkait seksualitas, tapi jika terkait dengan merendahkan otoritas tubuh perempuan mereka bisa seenaknya. Kontradiktif,'' ucap Tunggal.
''Membaca komentar yang ada dengan tagar tersebut sungguh menyedihkan, selain menjijikan.''
Raisa dan Hamish yang terlahir dalam generasi Instagram memiliki gabungan pengikut mencapai 16,3 juta, melebihi total warga Jakarta di siang hari. Dengan porsi pengikut terbesar ada di akun Raisa.
Saat keduanya menikah, menurut psikolog klinis Liza Marielly Djaprie, perbincangan menjadi suatu hal yang sangat lumrah terjadi.
Akan tetapi, kata dia, yang terjadi sekarang adalah kebablasan. Masyarakat tidak tahu lagi mana ranah personal, mana ranah konsumsi publik.
TWITTER
''Masyarakat kita cenderung tidak membahas masalah penting dengan benar, tapi membesar-besarkan kehidupan yang bukan esensial,'' kata Liza.
''Ketika punya kecenderungan seperti itu, akhirnya pembicaraan bablas kemana-mana. Sehingga kita tidak tahu lagi mana ranah personal, mana ranah konsumsi untuk publik. Bahkan malam pertama pun ikutan dibahas.''
Sedangkan Ankatama, MC pada acara konferensi pers pernikahan Raisa dan Hamish sempat berkomentar, ketika pernikahan seleb sudah masuk ke medsos secara otomatis dia menjadi konsumsi publik.
''Positifnya, inilah zaman sekarang. Kita semua bisa satu nada ngomongin hal yang sedang diomongin bareng-bareng. Semuanya update (karena medsos). Tapi kalau melihat minusnya, privasinya kurang buat orang yang sedang ada hajat,'' ujar Ankatama.
Dari hasil analisis di Spredfast, kelompok pengguna tagar yang dominan adalah laki-laki.
Dan, analisis tersebut juga menonjolkan fakta bahwa sejumlah pengguna medsos yang masih dalam kelompok usia anak 13-17 tahun, ikut memakainya.
''Pembuat tagar tidak berempati kepada Raisa dan Hamish. Mereka jadi bulan-bulanan di medsos. Kedua tidak ada nalarnya kepada anak kecil yang kemudian ikut-ikutan,'' kata Liza.
Kalau berbicara anak umur 13 tahun sampai 17 tahun, lanjut dia, mereka berada pada posisi nalar yang labil secara psikologis maupun biologis.
''Kemampuan otak untuk bernalar belum berfungsi secara maksimal. Mereka hanya mengerjakan apa yang publik lakukan,'' ujar Liza.
"Anak-anak itu butuh pengakuan, menurut mereka pengakuan itu akan diterima apabila mereka melakukan apa yang kebanyakan publik lakukan.''
Itu sebabnya menurut Liza, tanggung jawab akan bahasa seksis ini terletak pada dewasa pengguna medsos yang asumsinya sudah memiliki kemampuan berpikir yang cukup mampu bernalar, sehingga bisa membedakan mana yang baik mana yang salah.
(tribunmedan/bbc/Clara Rondonuwu, wartawan BBC Indonesia)
Kaitannya dengan ranah personal, buat aktivis perempuan Tunggal Pawestri perbincangan tentang malam pertama pasangan Raisa dan Hamish di Twitter tergolong 'invasi ruang privat.''
''Di satu sisi masyarakat merasa tabu (secara terbuka membicarakan seks) dan melarang hal-hal terkait seksualitas, tapi jika terkait dengan merendahkan otoritas tubuh perempuan mereka bisa seenaknya. Kontradiktif,'' ucap Tunggal.
''Membaca komentar yang ada dengan tagar tersebut sungguh menyedihkan, selain menjijikan.''
Raisa dan Hamish yang terlahir dalam generasi Instagram memiliki gabungan pengikut mencapai 16,3 juta, melebihi total warga Jakarta di siang hari. Dengan porsi pengikut terbesar ada di akun Raisa.
Saat keduanya menikah, menurut psikolog klinis Liza Marielly Djaprie, perbincangan menjadi suatu hal yang sangat lumrah terjadi.
Akan tetapi, kata dia, yang terjadi sekarang adalah kebablasan. Masyarakat tidak tahu lagi mana ranah personal, mana ranah konsumsi publik.
''Ketika punya kecenderungan seperti itu, akhirnya pembicaraan bablas kemana-mana. Sehingga kita tidak tahu lagi mana ranah personal, mana ranah konsumsi untuk publik. Bahkan malam pertama pun ikutan dibahas.''
Sedangkan Ankatama, MC pada acara konferensi pers pernikahan Raisa dan Hamish sempat berkomentar, ketika pernikahan seleb sudah masuk ke medsos secara otomatis dia menjadi konsumsi publik.
''Positifnya, inilah zaman sekarang. Kita semua bisa satu nada ngomongin hal yang sedang diomongin bareng-bareng. Semuanya update (karena medsos). Tapi kalau melihat minusnya, privasinya kurang buat orang yang sedang ada hajat,'' ujar Ankatama.
3. Tidak sensitif terhadap anak
Dari hasil analisis di Spredfast, kelompok pengguna tagar yang dominan adalah laki-laki.
Dan, analisis tersebut juga menonjolkan fakta bahwa sejumlah pengguna medsos yang masih dalam kelompok usia anak 13-17 tahun, ikut memakainya.
''Pembuat tagar tidak berempati kepada Raisa dan Hamish. Mereka jadi bulan-bulanan di medsos. Kedua tidak ada nalarnya kepada anak kecil yang kemudian ikut-ikutan,'' kata Liza.
Kalau berbicara anak umur 13 tahun sampai 17 tahun, lanjut dia, mereka berada pada posisi nalar yang labil secara psikologis maupun biologis.
''Kemampuan otak untuk bernalar belum berfungsi secara maksimal. Mereka hanya mengerjakan apa yang publik lakukan,'' ujar Liza.
"Anak-anak itu butuh pengakuan, menurut mereka pengakuan itu akan diterima apabila mereka melakukan apa yang kebanyakan publik lakukan.''
Itu sebabnya menurut Liza, tanggung jawab akan bahasa seksis ini terletak pada dewasa pengguna medsos yang asumsinya sudah memiliki kemampuan berpikir yang cukup mampu bernalar, sehingga bisa membedakan mana yang baik mana yang salah.
(tribunmedan/bbc/Clara Rondonuwu, wartawan BBC Indonesia)
0 Response to "Gak Nyangka Tagar #MalamPertamaRaisa Timbulkan Masalah Serius Ini"
Post a Comment